Sabtu, 19 Maret 2016

ISU SOSIAL

Realita Anak Jalanan Ditengah Uji Coba Kota Layak Anak

Fenomena social anak jalanan yang terjadi di sejumlah kota-kota besar seperti di Jakarta semakin hari semakin terlihat dalam akhir-akhir ini. Hal tersebut seakan menjadi sesuatu yang wajar terjadi di kota yang metropolitan seperti Jakarta ada sebagian orang yang melihat kehidupan anak jalanan dengan tatapan penih iba/kasian ingin membantu tetapi, ada pula sejumlah orang yang memandang rendah kehidupan anak jalanan dengan berbagai macam spekulasi yang mereka miliki.
Profesi yang dijalani oleh anak jalananpun cukup beragam dari mulai menjadi pengamen bernyanyi dari kendaraan umum yang satu ke kendaraan umum yang lainnya, Mengemis dari satu lampu merah ke lampu merah lainnya, memulung sampah dan sebagainya. Mereka melakukan hal itu semua bukan karena mereka menginginkannya melainkan mereka melakukan tersebut karena sudah menjadi tuntutan hidup mereka untuk menyambung hidup setiap harinya di ibu kota yang sangat besar ini.
            Mayoritas dari anak jalanan adalah anak-anak yang mempunyai umur 5tahun – 17tahun bahkan lebih dimana seharusnya mereka sedang asyik menikmati masa bermain mereka dengan teman sebaya mereka dan sedang rajinnya untuk menuntu ilmu di sekolah bersama dengan yang lain. Namun kenyataan lagi-lagi tidak seindah realita buktinya mereka harus berjuang hidup dikota metropolitan Jakarta hingga mereka harus putus dari bangku sekolah bahkan yang lebih parah dari itu ada sebagian dari anak jalanan yang belum sama sekali sempat menyentuh bangku pendidikan sekolah dasar.
            Hidup sebagai anak jalanan bukan lah hal yang mudah untuk dijalanin banyak hal yang harus mereka hadapi dijalanan terutama dari sisi keselamatan hidup mereka. Banyak hal yang tidak menyenangkan yang terjadi dan dialami oleh anak jalanan. Beberapa dianataranya adalah kejahatan premanisme yang selalu menjadi momok yang menakutkan bagi anak jalanan dimana mereka dipaksa mencari uang dalam jumlah yang tertentu lalu apabila uang yang mereka dapatkan sudah terkumpul maka mereka harus memberikannya kepada oknum preman disuatu wilayah yang mengaku sebagai penguasa daerah setempat.
            Para preman bahkan tidak segan untuk meminta para anak-anak dibawah umur tersebut untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji atau tidak pantas untuk dilakukan yaitu salah satunya adalah mencuri atau mencopet dompet atau mengambil barang yang bukan miliki mereka. Dimana, apabila mereka dalam sehari tidak memberkan uang jatah kepada preman-preman tersebut tidak banyak diantara mereka yang mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan seperti dibentak,dimaki, bahkan tidak jarang juga dapat pukulan dari para preman.
            Permasalahan anak jalanan datang bukan hanya dari para premanisme saja melainkan dari pemerintah pun juga ada yaitu sering terjadi razia anak jalanan yang dilakukan oleh pihak dinas social yang dibatu oleh sat pol pp dengan tujuan penertiban anak jalanan di ibu kota dimana mereka akan dibawa ke dinas social terkait untuk mendapatkan binaan dan bekal yang berguna saat mereka keluar dari dinas social tersebut mereka tidak perlu lagi harus kembali ke jalanan dan hidup sebagai anak jalanan lagi. Namun disayangkan mungkin cara melakukan penertiban yang dilakukan cukup membuat takut sejumlah anak jalanan takut sehinga setiap kali ada penertiban mereka memilih kabur dan lari dari pada harus dibawa ke dinas social bahkan tidak jarangjuga yang nekat hingga menjeburkan diri ke sungai atau bersembunyi di dalma selokan untuk menghindari petugas yang melakukan penertiban terhadap anaka jalanan.
    Hal yang lebih parah dari semua itu adalah ternyata tidak sedikit dari anak jalanan untuk bertahan hidup mereka rela melakukan perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh mereka. Dimana mereka menjadi korban prostitusi yang dimana dimanfaatkan oleh orang –orang yang tidakbertanggung jawab dan keji ini. Mereka dipaksa untuk melayani orang – orang yang penggila nafsu belaka dimana mereka cukup membayar kepada mucikari sejumlah uang dan kemudian mucikari tersebut memberikan uang ke pada anak jalanan yang menjadi korbannya dengan bayaran sangat amat kecil dan tidak pantas.
            Problematika anak jalanan khususnya perempuan malah lebih kompleks. Tidak hanya tekanan psikologis yang mereka terima seperti ejekan, caci maki, tetapi juga perlakuan tak wajar. Mereka kerap dituding sebagai anak liar atau pelacur yang menempatkan posisi anak jalanan perempuan pada posisi paling lemah. Maksud hati untuk mencari penghasilan demi kehidupan yang lebih baik malah dinodai oleh segelintir manusia bejat yang setiap saat mengintai. Bayangkan saja hanya mendapat duit 2000 rupiah sebagai imbalan mereka harus menjadi pemuas nafsu bejat remaja atau mungkin juga laki-laki dewasa. Kadang anak jalanan perempuan itu cukup dikasih nasi kucing dengan lauk seadanya sebagai imbalannya. Bukan maksudnya mereka harus mendapat imbalan yang lebih besar lagi. Tetapi kekerasan seksual yang mereka terima bisa berakibat fatal. Dari seringnya harus melayani hasrat para remaja atau lelaki bejat itu tak sedikit dari anak-anak perempuan itu yang beralih profesi menjadi pelacur cilik. Sebut saja T, anak perempuan jalanan yang beralih profesi menjadi pelacur karena sudah letih mengamen dan mengharapkan bantuan dari sesama anak jalanan.
Dia butuh makan, butuh hidup, malu kalau harus menjadi parasit. Dari coba-coba sesama anak jalanan akhirnya kalau ada yang menginginkan tubuhnya dibayar berapapun dia mau. Atau R, anak lelaki jalanan yang “pipis” saja belum lempeng harus memenuhi hasrat lelaki yang lebih tua darinya sehingga diapun harus ikut menanggung “kenikmatan” yang selalu nagih. Padahal anak seusia dia harusnya berkutat dengan buku bukan mikir siapa yang akan “mengajaknya” karena kebutuhan yang satu itu selalu nagih. Ini pun tak lebih juga cuma 2000 rupiah..hedehh “Hasrat dini” lah yang mengakibatkan anak-anak jalanan itu dewasa sebelum waktunya karena memikirkan hal-hal yang belum waktunya. Sungguh rugi nasib masa depan anak-anak itu. Anak-anak itu memang tidak menyadari bahaya yang setiap saat mengintai. Baik laki-laki atau perempuan mempunyai posisi kelemahan yang sama dalam hal ini. Mereka menjadi korban kebejatan para lelaki yang lebih tua dari usia mereka. Awalnya si perempuan cilik ini mulai digoda, dicolek, diraba, dicium. Dan para perempuan cilik itu pasti suka-suka saja menerima perlakuan yang “menyenangkan” karena mereka akan diiming-imingi duit 2000 atau 3000 rupiah. Lumayan buat makan siang.
 Jika sudah masuk perangkap maka mulailah mereka harus memelorotkan maaf..celananya untuk berhubungan seks karena duit yang dikasihpun tambah besar sekitar 5000 rupiah. Lumayan pikir mereka bisa untuk makan siang dan malam tanpa harus merepotkan orang tua atau memotong uang hasil mengemis atau mengamen. Dengan catatan, ini berlaku untuk anak-anak yang penurut. Bagaimana jika mereka berontak karena merasa kesakitan atau dipaksa melakukan hubungan seksual yang menyimpang, seperti anal dan oral seks? Manusia-manusia bejat itu tak segan-segan mengurung atau memperkosa mereka. Hal ini sering menimpa anak jalanan perempuan yang tidur di tempat-tempat sembarangan. Ironisnya perlakuan kekerasan seks terhadap anak jalanan perempuan tidak hanya dilakukan oleh sesama anak jalanan, tetapi kerapkali juga dilakukan oleh orang tua dan anggota keluarganya.
Hal ini bisa dimungkinkan bila anak-anak itu tinggal di rumah petak tanpa sekat yang dihuni oleh anggota keluarga laki-laki dan perempuan berbaur tanpa ada pemisahan saat mereka tidur. Perlakuan seks juga kadang mereka dapatkan dari kondektur bus, satpam, masyarakat umum hingga polisi. Menghadapi berbagai macam bentuk perlakuan ini tidak ada yang bisa mereka lakukan kecuali hanya diam dan menerimanya.
Melihat dari apa yang terjadi dan dialami oleh anak jalanan sontak membuat kita berfikir tentang sebuah kota yang memang pantas untuk menjadi tempat tinggal para anak-anak jalanan tanpa harus mereka mengalami yang namanya premanisme hingga menjadi korban seksualitas oknum yang tidak bertanggung jawab.
Data KPPPA hingga September 2015 menyebutkan, ada 264 kabupaten/kota yang menerapkan konsep KLA. Surakarta, Surabaya, dan Denpasar sejauh ini merupakan model terbaik karena selain komitmen pemerintah daerah, gerakan masyarakat juga aktif menyosialisasikan rumah, sekolah, lingkungan, hingga arena bermain ramah anak.
Fokus yang ditanamkan dalam kegiatan ini adalah pengenalan lima kluster hak anak kepada masyarakat secara luas. Lima kluster tersebut adalah hak dan kebebasan sipil; lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif; kesehatan dan kesejahteraan dasar; pendidikan, waktu luang, dan kegiatan budaya; serta perlindungan khusus.
Melalui lima kluster dasar tersebut, dibentuk indikator KLA yang menjadi panduan. "Dalam hal ini, segala aspek masyarakat, mulai dari pemerintah, dunia swasta, lembaga swadaya masyarakat, hingga keluarga, harus bekerja sama memenuhi indikator-indikator tersebut. Jadi, pelaksanaannya bukan sekadar simbolis," kata Lenny.
Pemenuhan hak dasar merupakan indikator pertama yang harus dilakukan. Di Indonesia, hak dasar yang belum dipenuhi adalah akta kelahiran untuk setiap anak. Rini Handayani, Asisten Deputi Pengembangan KLA KPPPA, menuturkan, baru 72 persen anak Indonesia yang memiliki akta. Tanpa dokumen tersebut, mereka tidak bisa mengakses layanan pendidikan, kesehatan, hingga pencatatan pernikahan ketika dewasa.
Jakarta, paling tidak harus dapat memenuhi hak dasar anak sebagai warga negara, yaitu adanya kemudahan dalam pembuatan akta lahir. Hal yang kedua adalah adanya fasilitas informasi serta ruang publik yang memudahkan bagi anak untuk beraktivitas, tumbuh dan berkembang. Ruang publik tersebut haruslah mudah diakses untuk anak serta disediakan gratis oleh pemerintah.
Fasilitas publik tersebut dapat berupa sekolah, perpustakaan, tempat bermain dan lain sebagainya. Kesemua fasilitas yang disyaratkan pada kriteria Kota Layak Anak juga haruslah memenuhi keamanan dan kenyamanan seorang anak serta bebas dari unsur kekerasan, diskriminasi dan rasialisme, kevulgaran dan pencabulan serta ekspos berlebihan terhadap data diri anak. Contoh konkretnya, bebasnya jalanan dari pelbagai iklan rokok yang dapat menyesatkan persepsi anak.
Ada lima tingkatan kriteria Kota Layak Anak, yaitu KLA Pratama, KLA Muda, KLA Madya, KLA Nindya dan KLA Utama. Sejak program Kota Layak Anak dicanangkan, sudah ada 100 kota yng berkomitmen untuk mewujudkannya. Namun kebanyakan kota barulah sampai pada tahap peraturan. Kalaulah ada kota yang memiliki forum anak, aktivitas dalam forum tersebut, masih banyak di intervensi oleh orang dewasa.

Melihat dari kehidupan relaita anaka jalanan yang terjadi dilapangan dan ditengah maraknya kota – kota yang berbondong – bonding membuat sebuah konsep kota layak anak. Sudahkah konsep itu benar-benar valid dan bias dirasakan dampaknya bagi mereka yang hidup sebagai anak jalanan?

Refernsi :

http://www.kompasiana.com/anna-risnawati/perilaku-seks-bebas-dan-liar-anak-jalanan_55200f17813311686e9de7c3

http://print.kompas.com/baca/2015/11/07/Membangun-Lingkungan-Layak-Anak

http://id.theasianparent.com/kota-anda-memenuhi-kriteria-kota-layak-anak/