Realita Anak Jalanan Ditengah Uji
Coba Kota Layak Anak
Fenomena social anak jalanan yang
terjadi di sejumlah kota-kota besar seperti di Jakarta semakin hari semakin terlihat
dalam akhir-akhir ini. Hal tersebut seakan menjadi sesuatu yang wajar terjadi
di kota yang metropolitan seperti Jakarta ada sebagian orang yang melihat
kehidupan anak jalanan dengan tatapan penih iba/kasian ingin membantu tetapi,
ada pula sejumlah orang yang memandang rendah kehidupan anak jalanan dengan
berbagai macam spekulasi yang mereka miliki.
Profesi yang dijalani oleh anak
jalananpun cukup beragam dari mulai menjadi pengamen bernyanyi dari kendaraan
umum yang satu ke kendaraan umum yang lainnya, Mengemis dari satu lampu merah
ke lampu merah lainnya, memulung sampah dan sebagainya. Mereka melakukan hal
itu semua bukan karena mereka menginginkannya melainkan mereka melakukan
tersebut karena sudah menjadi tuntutan hidup mereka untuk menyambung hidup
setiap harinya di ibu kota yang sangat besar ini.
Mayoritas dari anak jalanan adalah
anak-anak yang mempunyai umur 5tahun – 17tahun bahkan lebih dimana seharusnya mereka
sedang asyik menikmati masa bermain mereka dengan teman sebaya mereka dan
sedang rajinnya untuk menuntu ilmu di sekolah bersama dengan yang lain. Namun
kenyataan lagi-lagi tidak seindah realita buktinya mereka harus berjuang hidup
dikota metropolitan Jakarta hingga mereka harus putus dari bangku sekolah
bahkan yang lebih parah dari itu ada sebagian dari anak jalanan yang belum sama
sekali sempat menyentuh bangku pendidikan sekolah dasar.
Hidup sebagai anak jalanan bukan lah
hal yang mudah untuk dijalanin banyak hal yang harus mereka hadapi dijalanan
terutama dari sisi keselamatan hidup mereka. Banyak hal yang tidak menyenangkan
yang terjadi dan dialami oleh anak jalanan. Beberapa dianataranya adalah
kejahatan premanisme yang selalu menjadi momok yang menakutkan bagi anak
jalanan dimana mereka dipaksa mencari uang dalam jumlah yang tertentu lalu
apabila uang yang mereka dapatkan sudah terkumpul maka mereka harus
memberikannya kepada oknum preman disuatu wilayah yang mengaku sebagai penguasa
daerah setempat.
Para preman bahkan tidak segan untuk
meminta para anak-anak dibawah umur tersebut untuk melakukan
perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji atau tidak pantas untuk dilakukan yaitu
salah satunya adalah mencuri atau mencopet dompet atau mengambil barang yang
bukan miliki mereka. Dimana, apabila mereka dalam sehari tidak memberkan uang
jatah kepada preman-preman tersebut tidak banyak diantara mereka yang
mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan seperti dibentak,dimaki, bahkan
tidak jarang juga dapat pukulan dari para preman.
Permasalahan anak jalanan datang
bukan hanya dari para premanisme saja melainkan dari pemerintah pun juga ada
yaitu sering terjadi razia anak jalanan yang dilakukan oleh pihak dinas social yang
dibatu oleh sat pol pp dengan tujuan penertiban anak jalanan di ibu kota dimana
mereka akan dibawa ke dinas social terkait untuk mendapatkan binaan dan bekal
yang berguna saat mereka keluar dari dinas social tersebut mereka tidak perlu
lagi harus kembali ke jalanan dan hidup sebagai anak jalanan lagi. Namun
disayangkan mungkin cara melakukan penertiban yang dilakukan cukup membuat
takut sejumlah anak jalanan takut sehinga setiap kali ada penertiban mereka
memilih kabur dan lari dari pada harus dibawa ke dinas social bahkan tidak
jarangjuga yang nekat hingga menjeburkan diri ke sungai atau bersembunyi di
dalma selokan untuk menghindari petugas yang melakukan penertiban terhadap
anaka jalanan.
Hal yang lebih parah dari semua itu
adalah ternyata tidak sedikit dari anak jalanan untuk bertahan hidup mereka
rela melakukan perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh mereka. Dimana mereka
menjadi korban prostitusi yang dimana dimanfaatkan oleh orang –orang yang
tidakbertanggung jawab dan keji ini. Mereka dipaksa untuk melayani orang –
orang yang penggila nafsu belaka dimana mereka cukup membayar kepada mucikari
sejumlah uang dan kemudian mucikari tersebut memberikan uang ke pada anak
jalanan yang menjadi korbannya dengan bayaran sangat amat kecil dan tidak
pantas.
Problematika anak jalanan khususnya perempuan malah lebih
kompleks. Tidak hanya tekanan psikologis yang mereka terima seperti ejekan,
caci maki, tetapi juga perlakuan tak wajar. Mereka kerap dituding sebagai anak
liar atau pelacur yang menempatkan posisi anak jalanan perempuan pada posisi
paling lemah. Maksud hati untuk mencari penghasilan demi kehidupan yang lebih
baik malah dinodai oleh segelintir manusia bejat yang setiap saat mengintai.
Bayangkan saja hanya mendapat duit 2000 rupiah sebagai imbalan mereka harus
menjadi pemuas nafsu bejat remaja atau mungkin juga laki-laki dewasa. Kadang
anak jalanan perempuan itu cukup dikasih nasi kucing dengan lauk seadanya
sebagai imbalannya. Bukan maksudnya mereka harus mendapat imbalan yang lebih
besar lagi. Tetapi kekerasan seksual yang mereka terima bisa berakibat fatal.
Dari seringnya harus melayani hasrat para remaja atau lelaki bejat itu tak
sedikit dari anak-anak perempuan itu yang beralih profesi menjadi pelacur
cilik. Sebut saja T, anak perempuan jalanan yang beralih profesi menjadi
pelacur karena sudah letih mengamen dan mengharapkan bantuan dari sesama anak
jalanan.
Dia
butuh makan, butuh hidup, malu kalau harus menjadi parasit. Dari coba-coba
sesama anak jalanan akhirnya kalau ada yang menginginkan tubuhnya dibayar
berapapun dia mau. Atau R, anak lelaki jalanan yang “pipis” saja belum lempeng
harus memenuhi hasrat lelaki yang lebih tua darinya sehingga diapun harus ikut
menanggung “kenikmatan” yang selalu nagih. Padahal anak seusia dia harusnya
berkutat dengan buku bukan mikir siapa yang akan “mengajaknya” karena kebutuhan
yang satu itu selalu nagih. Ini pun tak lebih juga cuma 2000 rupiah..hedehh
“Hasrat dini” lah yang mengakibatkan anak-anak jalanan itu dewasa sebelum
waktunya karena memikirkan hal-hal yang belum waktunya. Sungguh rugi nasib masa
depan anak-anak itu. Anak-anak itu memang tidak menyadari bahaya yang setiap
saat mengintai. Baik laki-laki atau perempuan mempunyai posisi kelemahan yang
sama dalam hal ini. Mereka menjadi korban kebejatan para lelaki yang lebih tua
dari usia mereka. Awalnya si perempuan cilik ini mulai digoda, dicolek, diraba,
dicium. Dan para perempuan cilik itu pasti suka-suka saja menerima perlakuan
yang “menyenangkan” karena mereka akan diiming-imingi duit 2000 atau 3000 rupiah.
Lumayan buat makan siang.
Jika sudah masuk perangkap maka mulailah
mereka harus memelorotkan maaf..celananya untuk berhubungan seks karena duit
yang dikasihpun tambah besar sekitar 5000 rupiah. Lumayan pikir mereka bisa
untuk makan siang dan malam tanpa harus merepotkan orang tua atau memotong uang
hasil mengemis atau mengamen. Dengan catatan, ini berlaku untuk anak-anak yang
penurut. Bagaimana jika mereka berontak karena merasa kesakitan atau dipaksa
melakukan hubungan seksual yang menyimpang, seperti anal dan oral seks?
Manusia-manusia bejat itu tak segan-segan mengurung atau memperkosa mereka. Hal
ini sering menimpa anak jalanan perempuan yang tidur di tempat-tempat
sembarangan. Ironisnya perlakuan kekerasan seks terhadap anak jalanan perempuan
tidak hanya dilakukan oleh sesama anak jalanan, tetapi kerapkali juga dilakukan
oleh orang tua dan anggota keluarganya.
Hal
ini bisa dimungkinkan bila anak-anak itu tinggal di rumah petak tanpa sekat
yang dihuni oleh anggota keluarga laki-laki dan perempuan berbaur tanpa ada
pemisahan saat mereka tidur. Perlakuan seks juga kadang mereka dapatkan dari
kondektur bus, satpam, masyarakat umum hingga polisi. Menghadapi berbagai macam
bentuk perlakuan ini tidak ada yang bisa mereka lakukan kecuali hanya diam dan
menerimanya.
Melihat
dari apa yang terjadi dan dialami oleh anak jalanan sontak membuat kita berfikir
tentang sebuah kota yang memang pantas untuk menjadi tempat tinggal para
anak-anak jalanan tanpa harus mereka mengalami yang namanya premanisme hingga
menjadi korban seksualitas oknum yang tidak bertanggung jawab.
Data KPPPA hingga September 2015
menyebutkan, ada 264 kabupaten/kota yang menerapkan konsep KLA. Surakarta,
Surabaya, dan Denpasar sejauh ini merupakan model terbaik karena selain
komitmen pemerintah daerah, gerakan masyarakat juga aktif menyosialisasikan rumah,
sekolah, lingkungan, hingga arena bermain ramah anak.
Fokus yang ditanamkan dalam
kegiatan ini adalah pengenalan lima kluster hak anak kepada masyarakat secara
luas. Lima kluster tersebut adalah hak dan kebebasan sipil; lingkungan keluarga
dan pengasuhan alternatif; kesehatan dan kesejahteraan dasar; pendidikan, waktu
luang, dan kegiatan budaya; serta perlindungan khusus.
Melalui lima kluster dasar
tersebut, dibentuk indikator KLA yang menjadi panduan. "Dalam hal ini,
segala aspek masyarakat, mulai dari pemerintah, dunia swasta, lembaga swadaya
masyarakat, hingga keluarga, harus bekerja sama memenuhi indikator-indikator
tersebut. Jadi, pelaksanaannya bukan sekadar simbolis," kata Lenny.
Pemenuhan hak dasar merupakan
indikator pertama yang harus dilakukan. Di Indonesia, hak dasar yang belum
dipenuhi adalah akta kelahiran untuk setiap anak. Rini Handayani, Asisten
Deputi Pengembangan KLA KPPPA, menuturkan, baru 72 persen anak Indonesia yang
memiliki akta. Tanpa dokumen tersebut, mereka tidak bisa mengakses layanan
pendidikan, kesehatan, hingga pencatatan pernikahan ketika dewasa.
Jakarta, paling tidak harus dapat
memenuhi hak dasar anak sebagai warga negara, yaitu adanya kemudahan dalam
pembuatan akta lahir. Hal yang kedua adalah adanya fasilitas informasi serta
ruang publik yang memudahkan bagi anak untuk beraktivitas, tumbuh dan
berkembang. Ruang publik tersebut haruslah mudah diakses untuk anak serta
disediakan gratis oleh pemerintah.
Fasilitas publik tersebut dapat
berupa sekolah, perpustakaan, tempat bermain dan lain sebagainya. Kesemua
fasilitas yang disyaratkan pada kriteria Kota Layak Anak juga haruslah memenuhi
keamanan dan kenyamanan seorang anak serta bebas dari unsur kekerasan,
diskriminasi dan rasialisme, kevulgaran dan pencabulan serta ekspos berlebihan
terhadap data diri anak. Contoh konkretnya, bebasnya jalanan dari pelbagai
iklan rokok yang dapat menyesatkan persepsi anak.
Ada
lima tingkatan kriteria Kota Layak Anak, yaitu KLA Pratama, KLA Muda, KLA
Madya, KLA Nindya dan KLA Utama. Sejak program Kota Layak Anak dicanangkan,
sudah ada 100 kota yng berkomitmen untuk mewujudkannya. Namun kebanyakan kota
barulah sampai pada tahap peraturan. Kalaulah ada kota yang memiliki forum
anak, aktivitas dalam forum tersebut, masih banyak di intervensi oleh orang
dewasa.
Melihat
dari kehidupan relaita anaka jalanan yang terjadi dilapangan dan ditengah
maraknya kota – kota yang berbondong – bonding membuat sebuah konsep kota layak
anak. Sudahkah konsep itu benar-benar valid dan bias dirasakan dampaknya bagi
mereka yang hidup sebagai anak jalanan?
Refernsi :
http://www.kompasiana.com/anna-risnawati/perilaku-seks-bebas-dan-liar-anak-jalanan_55200f17813311686e9de7c3
http://print.kompas.com/baca/2015/11/07/Membangun-Lingkungan-Layak-Anak
http://id.theasianparent.com/kota-anda-memenuhi-kriteria-kota-layak-anak/
Refernsi :
http://www.kompasiana.com/anna-risnawati/perilaku-seks-bebas-dan-liar-anak-jalanan_55200f17813311686e9de7c3
http://print.kompas.com/baca/2015/11/07/Membangun-Lingkungan-Layak-Anak
http://id.theasianparent.com/kota-anda-memenuhi-kriteria-kota-layak-anak/