A.
Penyebab
Konflik antar Etnis
Berdasarkan
tulisan dari Stefan Wolff, bahwa konflik etnis ini sebagian besar terjadi di
wilayah Afrika, Asia, serta sebagian Eropa Timur. Dikatakan bahwa negara-negara
Eropa Barat serta Amerika Utara tidak terpengaruh atas konflik etnis yang
terjadi di dunia ini. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa
konflik tersebut terjadi di wilayah yang terbelakang secara peradaban? Belum
ada jawaban atas pertanyaan ini. Jawaban yang cukup masuk akal akan pertanyaan
ini adalah berdasarkan rentan waktu munculnya peradaban.
Etnik
atau suku bangsa, biasanya memiliki berbagai kebudayan yang berbeda satu dengan
lainnya. Sesuatu yang dianggap baik atau sakral dari suku tertentu mungkin
tidak demikian halnya bagi suku lain. Perbedaan etnis tersebut dapat
menimbulkan terjadinya konflik antar etnis. Misalnya konflik etnis di
Kalimantan antara suku dayak dan suku madura pendatang. Bagi suku madura
pendatang bekerja adalah suatu tuntutan bagi pemenuhan hidup di perantauan.
Pekerjaan yang dilakukan menebang kayu di hutan dan tempat dimana mereka
menebang kayu tersebut adalah tempat yang disakralkan oleh suku dayak. Kesalah
fahaman ini menyebabkan terjadinya konflik antar etnik dayak dan madura yang menelan
korban banyak di antara kedua suku yang berkonflik tersebut.
Konflik etnis adalah konflik yang
terkait dengan permasalahan- permasalahan mendesak mengenai politik, ekonomi,
sosial, budaya, dan teritorial di antara dua komunitas etnis atau lebih. (Brown,
1997). Konflik etnis seringkali bernuansa kekerasan, tetapi bisa juga tidak.
Konflik etnis di Bosnia dan Angola memiliki dimensi kekerasan yang luar biasa
besar. Sementara, permintaan warga Quebec untuk memperoleh otonomi lebih besar
dari pemerintah Kanada hampir tidak memiliki dimensi kekerasan sama sekali.
Banyak konflik lokal suatu masyarakat sama sekali tidak memiliki basis
etnisitas. Jadi, konflik-konflik tersebut tidak bisa disebut sebagai konflik
etnis. Pertempuran antara pemerintah Kamboja dengan tentara Khmer Merah tidak
pernah bisa disebut sebagai konflik etnis karena hakekat konfliknya adalah
persoalan ideologi, bukan persoalan etnis.
Konflik lebih sering terjadi karena
berbagai sebab sekaligus. Kadangkala antara sebab yang satu dengan yang lain
tumpang tindih sehingga sulit menentukan mana sebenarnya penyebab konflik yang
utama. Faturochman (2003) menyebutkan setidaknya ada enam hal yang biasa
melatarbelakangi terjadinya konflik, 1) Kepentingan yang sama diantara beberapa
pihak, 2) Perebutan sumber daya, 3) Sumber daya yang terbatas, 4) Kategori atau
identitas yang berbeda, 5) Prasangka atau diskriminasi, 6) Ketidakjelasan
aturan (ketidakadilan).
Sementara itu, Sukamdi (2002)
menyebutkan bahwa konflik antar etnik di Indonesia terdiri dari tiga sebab
utama: (1) konflik muncul karena ada benturan budaya, (2) karena masalah
ekonomi-politik, (3) karena kesenjangan ekonomi sehingga timbul kesenjangan
sosial. Menurutnya konflik terbuka dengan kelompok etnis lain hanyalah
merupakan bentuk perlawanan terhadap struktur ekonomi-politik yang menghimpit
mereka sehingga dapat terjadi konflik diantara yang satu dengan yang lainnya.
Perbedaan identitas sosial, dalam hal ini etnik dan budaya khasnya, seringkali
menimbulkan etnosentrisme yang kaku, dimana seseorang tidak mampu keluar dari
perspektif yang dimiliki atau hanya bisa memahami sesuatu berdasarkan
perspektif yang dimiliki dan tidak mampu memahami perilaku orang lain
berdasarkan latar belakang budayanya. Sikap etnosentrisme yang kaku ini sangat
berperan dalam menciptakan konflik karena ketidakmampuan orang-orang untuk
memahami perbedaan. Sebagai tambahan, pengidentifikasian kuat seseorang
terhadap kelompok cenderung akan menyebabkan seseorang lebih berprasangka, yang
akan menjadi konflik.
B. Upaya Penanggulangan
Konflik antar Etnis
Dalam mengatasi dan menyelesaikan suatu konflik
bukanlah suatu yang sederhana. Cepat-tidaknya suatu konflik dapat diatasi
tergantung pada kesediaan dan keterbukaan pihak-pihak yang bersengketa untuk
menyelesaikan konflik, berat ringannya bobot atau tingkat konflik tersebut
serta kemampuan campur tangan (intervensi) pihak ketiga yang turut berusaha
mengatasi konflik yang muncul. Penyelesaian persoalan dengan pemaksaan sepihak
oleh pihak yang merasa lebih kuat, apalagi apabila di sini digunakan tindakan
kekerasan fisik, bukanlah cara yang demokratik dan beradab. Inilah yang
dinamakan “main hakim sendiri”, yang hanya menyebabkan terjadinya bentrokan
yang destruktif. Cara yang lebih demokratik demi tercegahnya perpecahan,
dan penindasan atas yang lemah oleh yang lebih kuat, adalah cara penyelesaian
yang berangkat dari niat untuk take a little and give a little,
didasari itikat baik untuk berkompromi. Musyawarah untuk mupakat, yang
ditempuh dan dicapai lewat negosiasi atau mediasi, atau lewat proses yudisial
dengan merujuk ke kaidah perundang-undangan yang telah disepakati pada tingkat
nasional, adalah cara yang baik pula untuk mentoleransi terjadinya konflik,
namun konflik yang tetap dapat dikontrol dan diatasi lewat mekanisme yang akan
mencegah terjadinya akibat yang merugikan kelestarian kehidupan yang tenteram.
Ada beberapa
cara yang dapat dilakukan untuk penyelesaian konflik tersebut, yaitu
:
1. Abitrasi,
yaitu suatu perselisihan yang langsung dihentikan oleh pihak ketiga dalam hal
ini pemerintah dan aparat penegak hukum yang memberikan keputusan dan diterima
serta ditaati oleh kedua belah pihak dengan memberikan sanksi yang tegas
apabila. Kejadian seperti ini terlihat setiap hari dan berulangkali di mana
saja dalam masyarakat, bersifat spontan dan informal.
2. Mediasi,
yaitu penghentian pertikaian oleh pihak ketiga tetapi tidak diberikan keputusan
yang mengikat.
3. Konsiliasi,
yaitu usaha untuk mempertemukan keinginan pihak-pihak yang berselisih sehingga
tercapai persetujuan bersama..
4. Stalemate,
yaitu keadaan ketika kedua belah pihak yang bertentangan memiliki kekuatan yang
seimbang, lalu berhenti pada suatu titik tidak saling menyerang. Keadaan ini
terjadi karena kedua belah pihak tidak mungkin lagi untuk maju atau mundur .
5. Adjudication (ajudikasi),
yaitu penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan dengan mengutamakan sisi keadilan dan tidak
memihak kepada siapapun.
Untuk
mengurangi kasus konflik sosial diperlukan suatu upaya
pembinaan yang efektif dan berhasil, diperlukan pula tatanan, perangkat dan
kebijakan yang tepat guna memperkukuh integrasi nasional antara lain :
a.
Membangun dan menghidupkan terus komitmen, kesadaran dan kehendak
untuk bersatu.
b.
Menciptakan kondisi dan membiasakan diri untuk selalu membangun
consensus.
c.
Membangun kelembagaan (pranata) yang berakarkan nilai dan norma
yang menyuburkan persatuan dan kesatuan bangsa.
d.
Merumuskan kebijakan dan regulasi yang konkret, tegas dan tepat
dalam aspek kehidupan dan pembangunan bangsa yang mencerminkan keadilan bagi
semua pihak, semua wilayah.
e.
Upaya bersama dan pembinaan integrasi nasional memerlukan
kepemimpinan yang arif dan bijaksana, serta efektif.
Adapun
cara-cara yang lain untuk memecahkan konflik adalah :
a. Aspek kualitas warga sukubangsa
1) Perlunya diberikan pemahaman dan pembinaan mental secara konsisten dan berkesinambungan
terhadap para warga sukubangsa di Indonesia terhadap eksistensi Bhinneka
Tunggal Ika sebagai faktor pemersatu keanekaragaman di Indonesia, bukan sebagai
faktor pemicu perpecahan atau konflik.
2) Perlunya diberikan pemahaman kepada para pihak yang terlibat konflik untuk
meniadakan stereotip dan prasangka yang ada pada kedua belah pihak dengan cara
memberikan pengakuan bahwa masing-masing pihak adalah sederajat dan melalui
kesederajatan tersebut masing-masing anggota sukubangsa berupaya untuk saling
memahami perbedaan yang mereka punyai serta menaati berbagai norma dan hukum
yang berlaku di dalam masyarakat.
3) Adanya kesediaan dari kedua belah pihak yang terlibat konflik untuk saling
memaafkan dan melupakan peristiwa yang telah terjadi.
b. Penerapan model Polmas secara sinkron dengan model Patron-Klien.
Terjadinya
perdamaian pada konflik antar sukubangsa yang telah terwujud dalam sebuah
konflik fisik tidaklah mudah sehingga perlu adanya campur tangan pihak ketiga
yang memiliki kapabilitas sebagai orang atau badan organisasi yang dihormati
dan dipercaya kesungguhan hatinya serta ketidakberpihakannya terhadap kedua
belah pihak yang terlibat konflik. Peran selaku pihak ketiga dimaksud dapat dilakukan
oleh Polri sebagai ”juru damai” dalam rangka mewujudkan situasi yang kondusif
dalam hubungan antar sukubangsa dengan memberi kesempatan terjadinya perdamaian
dimaksud seiring berjalannya proses penyidikan yang dilandasi pemikiran
pencapaian hasil yang lebih penting dari sekedar proses penegakkan hukum berupa
keharmonisan hubungan antar sukubangsa yang berkesinambungan.
Dalam hal
ini, Polri dapat menerapkan metode Polmas dengan melibatkan para tokoh dari
masing-masing suku bangsa Ambon dan Flores yang merupakan Patron dari kedua
belah pihak yang terlibat konflik yang tujuannya adalah agar permasalahan yang
terjadi dapat terselesaikan secara arif dan bijaksana oleh, dari dan untuk
kedua sukubangsa dimaksud termasuk dalam hal menghadapi permasalahan- permasalahan
lainnya di waktu yang akan datang.
Teori yang Terkait:
1.
Teori Konflik
Dalam
suatu masyarakat akan selalu ada kelompok atas yang menguasai kelompok bawah,
kelompok ini dibagi berdasarkan kekuasaan, kemampuan, kekayaan, kekuatan, dsb.
Kelompok bawah (yang lemah) akan “ditindas” dan menjalankan kehendak kelompok
atas. Fenomena ini akhirnya memicu timbulnya konflik antar kelompok. Selain hal
tersebut kurangnya integrasi dalam masyarakat, perbedaan paham atau kepentingan
juga sebagai faktor timbulnya konflik.
2.
Teori Perubahan Sosial
Masyarakat
tumbuh dan berkembang menuju arah yang lebih baik atau lebih kompleks, namun
proses mewujudkan hal tersebut tidaklah mudah. Banyak hal yang kadang tidak
mendukung perubahan tersebut, akhirnya timbullah konflik.
3.
Teori Struktural Fungsional
Suatu
masyarakat memiliki struktur sosial yang di dalamnya terdapat sistem, yang mana
sistem- sistem tersebut fungsi masing- masing. Apabila salah sistem tidak
berfungsi, maka struktur tersebut akan cacat. Kecacatan itulah yang dapat
memicu timbulnya konflik
4.
Teori Labeling
Labeling
atau pemberian stigma pada seseorang atau suatu kelompok dalam mempengaruhi
pembentukan kepribadiaanya. Misalnya, suatu suku diberikan stigma bahwa suku
tersebut keras, senggol bacok. Maka suatu ketika ada suku lain yang membuat
hatinya tersinggung tidak dapat dipungkiri akan muncul konflik antar kelompok
yang bersangkutan.
5.
Teori Interaksi
Dalam
proses sosialisasi, interaksi adalah salah satu faktor utama. Apabila interaksi
sangat kurang, tidak ada pemahaman antara yang satu dengan yang lain maka dapat
mempengaruhi proses sosialisasi yang sedang berlangsung. Kurangnya pemahaman
dapat timbul konflik dalam masyarakat trsebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar