Sabtu, 24 Mei 2014

Konfik Antar Suku Bangsa






A.   Penyebab Konflik antar Etnis
           
Berdasarkan tulisan dari Stefan Wolff, bahwa konflik etnis ini sebagian besar terjadi di wilayah Afrika, Asia, serta sebagian Eropa Timur. Dikatakan bahwa negara-negara Eropa Barat serta Amerika Utara tidak terpengaruh atas konflik etnis yang terjadi di dunia ini. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa konflik tersebut terjadi di wilayah yang terbelakang secara peradaban? Belum ada jawaban atas pertanyaan ini. Jawaban yang cukup masuk akal akan pertanyaan ini adalah berdasarkan rentan waktu munculnya peradaban.
            Etnik atau suku bangsa, biasanya memiliki berbagai kebudayan yang berbeda satu dengan lainnya. Sesuatu yang dianggap baik atau sakral dari suku tertentu mungkin tidak demikian halnya bagi suku lain. Perbedaan etnis tersebut dapat menimbulkan terjadinya konflik antar etnis. Misalnya konflik etnis di Kalimantan antara suku dayak dan suku madura pendatang. Bagi suku madura pendatang bekerja adalah suatu tuntutan bagi pemenuhan hidup di perantauan. Pekerjaan yang dilakukan menebang kayu di hutan dan tempat dimana mereka menebang kayu tersebut adalah tempat yang disakralkan oleh suku dayak. Kesalah fahaman ini menyebabkan terjadinya konflik antar etnik dayak dan madura yang menelan korban banyak di antara kedua suku yang berkonflik tersebut.
            Konflik etnis adalah konflik yang terkait dengan permasalahan- permasalahan mendesak mengenai politik, ekonomi, sosial, budaya, dan teritorial di antara dua komunitas etnis atau lebih. (Brown, 1997). Konflik etnis seringkali bernuansa kekerasan, tetapi bisa juga tidak. Konflik etnis di Bosnia dan Angola memiliki dimensi kekerasan yang luar biasa besar. Sementara, permintaan warga Quebec untuk memperoleh otonomi lebih besar dari pemerintah Kanada hampir tidak memiliki dimensi kekerasan sama sekali. Banyak konflik lokal suatu masyarakat sama sekali tidak memiliki basis etnisitas. Jadi, konflik-konflik tersebut tidak bisa disebut sebagai konflik etnis. Pertempuran antara pemerintah Kamboja dengan tentara Khmer Merah tidak pernah bisa disebut sebagai konflik etnis karena hakekat konfliknya adalah persoalan ideologi, bukan persoalan etnis.
            Konflik lebih sering terjadi karena berbagai sebab sekaligus. Kadangkala antara sebab yang satu dengan yang lain tumpang tindih sehingga sulit menentukan mana sebenarnya penyebab konflik yang utama. Faturochman (2003) menyebutkan setidaknya ada enam hal yang biasa melatarbelakangi terjadinya konflik, 1) Kepentingan yang sama diantara beberapa pihak, 2) Perebutan sumber daya, 3) Sumber daya yang terbatas, 4) Kategori atau identitas yang berbeda, 5) Prasangka atau diskriminasi, 6) Ketidakjelasan aturan (ketidakadilan).
            Sementara itu, Sukamdi (2002) menyebutkan bahwa konflik antar etnik di Indonesia terdiri dari tiga sebab utama: (1) konflik muncul karena ada benturan budaya, (2) karena masalah ekonomi-politik, (3) karena kesenjangan ekonomi sehingga timbul kesenjangan sosial. Menurutnya konflik terbuka dengan kelompok etnis lain hanyalah merupakan bentuk perlawanan terhadap struktur ekonomi-politik yang menghimpit mereka sehingga dapat terjadi konflik diantara yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan identitas sosial, dalam hal ini etnik dan budaya khasnya, seringkali menimbulkan etnosentrisme yang kaku, dimana seseorang tidak mampu keluar dari perspektif yang dimiliki atau hanya bisa memahami sesuatu berdasarkan perspektif yang dimiliki dan tidak mampu memahami perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya. Sikap etnosentrisme yang kaku ini sangat berperan dalam menciptakan konflik karena ketidakmampuan orang-orang untuk memahami perbedaan. Sebagai tambahan, pengidentifikasian kuat seseorang terhadap kelompok cenderung akan menyebabkan seseorang lebih berprasangka, yang akan menjadi konflik.

B.   Upaya Penanggulangan Konflik antar Etnis

Dalam mengatasi dan menyelesaikan suatu konflik bukanlah suatu yang sederhana. Cepat-tidaknya suatu konflik dapat diatasi tergantung pada kesediaan dan keterbukaan pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan konflik, berat ringannya bobot atau tingkat konflik tersebut serta kemampuan campur tangan (intervensi) pihak ketiga yang turut berusaha mengatasi konflik yang muncul. Penyelesaian persoalan dengan pemaksaan sepihak oleh pihak yang merasa lebih kuat, apalagi apabila di sini digunakan tindakan kekerasan fisik, bukanlah cara yang demokratik dan beradab.  Inilah yang dinamakan “main hakim sendiri”, yang hanya menyebabkan terjadinya bentrokan yang destruktif.  Cara yang lebih demokratik demi tercegahnya perpecahan, dan penindasan atas yang lemah oleh yang lebih kuat, adalah cara penyelesaian yang berangkat dari niat untuk take a little and give a little, didasari itikat baik untuk berkompromi.  Musyawarah untuk mupakat, yang ditempuh dan dicapai lewat negosiasi atau mediasi, atau lewat proses yudisial dengan merujuk ke kaidah perundang-undangan yang telah disepakati pada tingkat nasional, adalah cara yang baik pula untuk mentoleransi terjadinya konflik, namun konflik yang tetap dapat dikontrol dan diatasi lewat mekanisme yang akan mencegah terjadinya akibat yang merugikan kelestarian kehidupan yang tenteram.

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk penyelesaian konflik tersebut, yaitu :  
1.   Abitrasi, yaitu suatu perselisihan yang langsung dihentikan oleh pihak ketiga dalam hal ini pemerintah dan aparat penegak hukum yang memberikan keputusan dan diterima serta ditaati oleh kedua belah pihak dengan memberikan sanksi yang tegas apabila. Kejadian seperti ini terlihat setiap hari dan berulangkali di mana saja dalam masyarakat, bersifat spontan dan informal.
2.   Mediasi, yaitu penghentian pertikaian oleh pihak ketiga tetapi tidak diberikan keputusan yang mengikat.
3.   Konsiliasi, yaitu usaha untuk mempertemukan keinginan pihak-pihak yang berselisih sehingga tercapai persetujuan bersama..
4.   Stalemate, yaitu keadaan ketika kedua belah pihak yang bertentangan memiliki kekuatan yang seimbang, lalu berhenti pada suatu titik tidak saling menyerang. Keadaan ini terjadi karena kedua belah pihak tidak mungkin lagi untuk maju atau mundur .
5.   Adjudication (ajudikasi), yaitu penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan dengan mengutamakan sisi keadilan dan tidak memihak kepada siapapun.

Untuk mengurangi kasus konflik sosial diperlukan suatu upaya pembinaan yang efektif dan berhasil, diperlukan pula tatanan, perangkat dan kebijakan yang tepat guna memperkukuh integrasi nasional antara lain :
a.    Membangun dan menghidupkan terus komitmen, kesadaran dan kehendak untuk bersatu.
b.    Menciptakan kondisi dan membiasakan diri untuk selalu membangun consensus.
c.    Membangun kelembagaan (pranata) yang berakarkan nilai dan norma yang menyuburkan persatuan dan kesatuan bangsa.
d.    Merumuskan kebijakan dan regulasi yang konkret, tegas dan tepat dalam aspek kehidupan dan pembangunan bangsa yang mencerminkan keadilan bagi semua pihak, semua wilayah.
e.    Upaya bersama dan pembinaan integrasi nasional memerlukan kepemimpinan yang arif dan bijaksana, serta efektif.






Adapun cara-cara yang lain untuk memecahkan konflik adalah :
a.    Aspek kualitas warga sukubangsa
1)    Perlunya diberikan pemahaman dan pembinaan mental secara konsisten dan berkesinambungan terhadap para warga sukubangsa di Indonesia terhadap eksistensi Bhinneka Tunggal Ika sebagai faktor pemersatu keanekaragaman di Indonesia, bukan sebagai faktor pemicu perpecahan atau konflik.
2)    Perlunya diberikan pemahaman kepada para pihak yang terlibat konflik untuk meniadakan stereotip dan prasangka yang ada pada kedua belah pihak dengan cara memberikan pengakuan bahwa masing-masing pihak adalah sederajat dan melalui kesederajatan tersebut masing-masing anggota sukubangsa berupaya untuk saling memahami perbedaan yang mereka punyai serta menaati berbagai norma dan hukum yang berlaku di dalam masyarakat.
3)    Adanya kesediaan dari kedua belah pihak yang terlibat konflik untuk saling memaafkan dan melupakan peristiwa yang telah terjadi.
b.    Penerapan model Polmas secara sinkron dengan model Patron-Klien.

Terjadinya perdamaian pada konflik antar sukubangsa yang telah terwujud dalam sebuah konflik fisik tidaklah mudah sehingga perlu adanya campur tangan pihak ketiga yang memiliki kapabilitas sebagai orang atau badan organisasi yang dihormati dan dipercaya kesungguhan hatinya serta ketidakberpihakannya terhadap kedua belah pihak yang terlibat konflik. Peran selaku pihak ketiga dimaksud dapat dilakukan oleh Polri sebagai ”juru damai” dalam rangka mewujudkan situasi yang kondusif dalam hubungan antar sukubangsa dengan memberi kesempatan terjadinya perdamaian dimaksud seiring berjalannya proses penyidikan yang dilandasi pemikiran pencapaian hasil yang lebih penting dari sekedar proses penegakkan hukum berupa keharmonisan hubungan antar sukubangsa yang berkesinambungan.
Dalam hal ini, Polri dapat menerapkan metode Polmas dengan melibatkan para tokoh dari masing-masing suku bangsa Ambon dan Flores yang merupakan Patron dari kedua belah pihak yang terlibat konflik yang tujuannya adalah agar permasalahan yang terjadi dapat terselesaikan secara arif dan bijaksana oleh, dari dan untuk kedua sukubangsa dimaksud termasuk dalam hal menghadapi permasalahan- permasalahan lainnya di waktu yang akan datang.






Teori yang Terkait:

1.    Teori Konflik
Dalam suatu masyarakat akan selalu ada kelompok atas yang menguasai kelompok bawah, kelompok ini dibagi berdasarkan kekuasaan, kemampuan, kekayaan, kekuatan, dsb. Kelompok bawah (yang lemah) akan “ditindas” dan menjalankan kehendak kelompok atas. Fenomena ini akhirnya memicu timbulnya konflik antar kelompok. Selain hal tersebut kurangnya integrasi dalam masyarakat, perbedaan paham atau kepentingan juga sebagai faktor timbulnya konflik.
2.    Teori Perubahan Sosial
Masyarakat tumbuh dan berkembang menuju arah yang lebih baik atau lebih kompleks, namun proses mewujudkan hal tersebut tidaklah mudah. Banyak hal yang kadang tidak mendukung perubahan tersebut, akhirnya timbullah konflik.
3.    Teori Struktural Fungsional
Suatu masyarakat memiliki struktur sosial yang di dalamnya terdapat sistem, yang mana sistem- sistem tersebut fungsi masing- masing. Apabila salah sistem tidak berfungsi, maka struktur tersebut akan cacat. Kecacatan itulah yang dapat memicu timbulnya konflik
4.    Teori Labeling
Labeling atau pemberian stigma pada seseorang atau suatu kelompok dalam mempengaruhi pembentukan kepribadiaanya. Misalnya, suatu suku diberikan stigma bahwa suku tersebut keras, senggol bacok. Maka suatu ketika ada suku lain yang membuat hatinya tersinggung tidak dapat dipungkiri akan muncul konflik antar kelompok yang bersangkutan.
5.    Teori Interaksi
Dalam proses sosialisasi, interaksi adalah salah satu faktor utama. Apabila interaksi sangat kurang, tidak ada pemahaman antara yang satu dengan yang lain maka dapat mempengaruhi proses sosialisasi yang sedang berlangsung. Kurangnya pemahaman dapat timbul konflik dalam masyarakat trsebut.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar